Ulama terkemuka asal India, Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, mengaitkan ibadah haji dengan sebuah metafora yang mendalam: gambaran kematian dan kehidupan setelahnya. Pandangan ini memberikan perspektif spiritual yang unik terhadap ritual haji, melampaui sekadar rangkaian ibadah fisik. Bagi Al-Kandahlawi, perjalanan ke Makkah Al-Mukarramah, pusat ibadah umat Islam, bukan hanya perjalanan geografis, melainkan juga perjalanan spiritual yang menuntun jemaah pada refleksi diri dan persiapan menghadapi kematian.
Ketika memasuki wilayah Makkah, jemaah haji secara simbolis meninggalkan kehidupan duniawi mereka yang sementara. Mereka melepaskan identitas sosial dan status mereka, mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan seragam, menandakan kesetaraan di hadapan Allah SWT. Proses ini dapat diartikan sebagai pelepasan ikatan duniawi, sebuah proses yang serupa dengan pelepasan jiwa dari raga saat kematian. Kehidupan duniawi, dengan segala gemerlap dan kesenangannya, sementara; sementara kehidupan setelah kematian bersifat kekal.

Ibadah haji sendiri terdiri dari serangkaian ritual yang sarat makna simbolis. Sai, misalnya, yang melibatkan berlari bolak-balik antara Bukit Safa dan Marwah, melambangkan perjuangan manusia dalam hidup, mencari keridhaan Allah SWT di tengah berbagai cobaan dan tantangan. Wukuf di Arafah, di mana jemaah berkumpul dan berdoa di Padang Arafah, dapat dimaknai sebagai momen perenungan diri, introspeksi atas perjalanan hidup, dan persiapan untuk menghadap Sang Khalik. Di tempat inilah, jemaah merenungkan amal perbuatan mereka, memohon ampun atas dosa-dosa, dan berharap mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Hal ini serupa dengan proses perhitungan amal di akhirat kelak.
Lemparan jumrah, yang melambangkan pelepasan diri dari godaan setan, juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Setan, sebagai simbol hawa nafsu dan godaan dunia, senantiasa menggoda manusia untuk berbuat dosa. Lemparan jumrah menjadi representasi dari upaya manusia untuk melawan godaan tersebut dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam konteks kematian, hal ini dapat diartikan sebagai perjuangan melawan bisikan setan yang menyesatkan di akhirat.
Proses tawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh kali, melambangkan perjalanan panjang manusia dalam kehidupan duniawi, mengelilingi Sang Pencipta. Setiap putaran melambangkan pengabdian dan ketaatan kepada Allah SWT. Tawaf juga dapat diartikan sebagai perjalanan ruhani yang tak pernah berakhir, sebuah perjalanan abadi menuju kedekatan dengan Allah SWT, bahkan setelah kematian.
Setelah melaksanakan ibadah haji, jemaah kembali ke kehidupan duniawi mereka dengan membawa bekal pengalaman spiritual yang mendalam. Mereka diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai spiritual yang telah mereka peroleh selama ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman haji, menurut perspektif Al-Kandahlawi, menjadi bekal dan persiapan menghadapi kematian dan kehidupan akhirat.
Sejarah ibadah haji sendiri terhubung erat dengan kisah Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Ritual-ritual haji, seperti wukuf di Arafah dan tawaf di Ka’bah, memiliki akar sejarah yang panjang dan kaya akan makna. Perjalanan Nabi Ibrahim AS, yang penuh pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT, menjadi teladan bagi jemaah haji dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup. Kisah ini mengingatkan jemaah haji akan pentingnya keikhlasan dan ketaatan dalam menjalani hidup, mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dengan tenang dan penuh keyakinan.
Lebih jauh lagi, perspektif Al-Kandahlawi menekankan pentingnya merenungkan kematian sebagai bagian integral dari kehidupan. Kehidupan duniawi hanyalah sementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal. Ibadah haji, dengan segala ritual dan simbolismenya, menjadi sarana untuk merenungkan hal tersebut. Dengan memahami makna haji sebagai gambaran kematian, jemaah diharapkan dapat lebih mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian, menjalani kehidupan duniawi dengan penuh tanggung jawab, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Konsep kematian dan kehidupan setelah kematian merupakan tema sentral dalam ajaran Islam. Berbagai ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Ibadah haji, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar ritual keagamaan, melainkan juga sebagai sarana untuk merenungkan dan mempersiapkan diri menghadapi kematian dan kehidupan akhirat. Dengan demikian, perspektif Al-Kandahlawi memberikan penafsiran yang mendalam dan kaya akan makna spiritual terhadap ibadah haji. Ia mengajak jemaah haji untuk tidak hanya fokus pada aspek fisik ritual, tetapi juga pada aspek spiritual yang lebih luas dan mendalam. Perjalanan ke Makkah menjadi perjalanan menuju diri sendiri dan persiapan untuk bertemu Sang Pencipta. Proses ini, menurut Al-Kandahlawi, harus dimaknai secara holistik, mengintegrasikan aspek fisik, mental, dan spiritual. Dengan demikian, haji bukan hanya sekadar perjalanan, melainkan sebuah transformasi spiritual yang mendalam.